Penangkapan dan pemulangan mantan bos Investree, Adrian Gunadi, dari Qatar menjadi sorotan. Pelajari kronologi kasus penghimpunan dana ilegal hingga proses penanganan hukum di Indonesia.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berhasil memulangkan Adrian Gunadi, buronan dalam kasus pengumpulan dana masyarakat tanpa izin, dari Doha, Qatar ke Indonesia. Sesampainya di Tanah Air, ia langsung dibawa aparat untuk menjalani proses penyidikan lanjutan.
Penangkapan dan Pemulangan Adrian Gunadi
Proses pemulangan Adrian Gunadi dilakukan melalui kerja sama internasional antara Interpol dan lembaga penegak hukum Indonesia. Setelah tiba di Bandara Soekarno‑Hatta pada Jumat (26/9), ia mengenakan rompi “Tersangka OJK” dan diperlihatkan ke awak media sebelum dibawa ke ruang pemeriksaan lebih lanjut.
Koordinasi antara Kementerian Luar Negeri, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Doha, serta pihak Interpol menjadi kunci dalam memulangkan Adrian. Dalam konferensi pers, Deputi Komisioner Hukum dan Penyidikan OJK, Yuliana, menyatakan bahwa OJK bersama Polri dan kementerian terkait berhasil membawa pulang dan langsung menahan Adrian sebagai tersangka.
Kasus Penghimpunan Dana Tanpa Izin
Menurut keterangan OJK, Adrian Gunadi telah ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan melanggar Pasal 46 Undang‑Undang Perbankan terkait penghimpunan dana masyarakat tanpa izin. Dalam kasus ini, OJK menduga Adrian menggunakan dua perusahaan cangkang — PT Radhika Persada Utama (RPU) dan PT Putra Radhika Investama (PRI) — untuk menghimpun dana dengan mengatasnamakan Investree. Dana yang terkumpul sebagian diduga dialokasikan untuk kepentingan pribadi.
Seiring dengan penyidikan, OJK mencatat bahwa saat Adrian menjadi buronan, rasio kredit macet (TWP90) di Investree memburuk hingga 16,44 persen — jauh melampaui ambang batas yang diizinkan, yakni 5 persen. Kondisi ini memicu pencabutan izin usaha Investree melalui keputusan Dewan Komisioner OJK (SK Nomor Kep‑53/D.06/2024) pada 21 Oktober 2024.
Jejak Karier dan Status Buron
Sebelum kasus membelitnya, Adrian Gunadi dikenal sebagai salah satu tokoh awal dalam lanskap fintech Indonesia. Ia mendirikan Investree bersama Amir Amiruddin pada Oktober 2015. Namun, setelah dicopot dari jabatan CEO pada Januari 2024, Adrian mulai sulit dihubungi dan tidak memenuhi panggilan OJK.
Oleh karena itu, pada 14 November 2024, Adrian ditetapkan sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) dan Red Notice Interpol diterbitkan. Setelah dalam pelariannya, keberadaannya akhirnya terendus dari unggahan Instagram pribadinya di Qatar — di mana ia menjabat sebagai CEO JTA Investree Doha sebelum akhirnya ditangkap.
Dampak dan Tinjauan ke Depan
Kasus Adrian Gunadi menjadi alarm keras bagi seluruh ekosistem fintech, khususnya dalam layanan investasi berbasis peer-to-peer (P2P lending). Skandal ini menunjukkan bahwa meskipun industri berbasis teknologi tumbuh pesat dan menjadi solusi keuangan alternatif, pengawasan dan kepatuhan terhadap regulasi tidak boleh diabaikan.
Adrian, sebagai figur yang dulu dihormati karena perannya dalam mendirikan Investree, justru kini menjadi contoh buruk dari penyalahgunaan kepercayaan publik. Kasus ini menunjukkan bahwa risiko dalam sektor fintech bukan hanya soal teknologi, tetapi juga integritas pelaku usaha.
Kegagalan manajemen tata kelola dan pengawasan internal terbukti memiliki dampak sistemik. Terbukti, rasio TWP90 Investree melonjak tajam hingga 16,44 persen — lebih dari tiga kali lipat batas aman yang ditetapkan OJK. Hal ini menunjukkan betapa cepatnya kondisi perusahaan dapat memburuk ketika kepemimpinan tidak transparan dan pengawasan longgar.
Secara lebih luas, penangkapan Adrian Gunadi juga akan memengaruhi persepsi investor terhadap fintech lokal. Kepercayaan publik yang terguncang perlu segera dipulihkan melalui tindakan hukum yang transparan dan pemulihan dana yang sistematis bagi para pemberi dana (lender). Bila tidak, dampaknya dapat berujung pada penurunan minat masyarakat untuk berinvestasi di sektor P2P lending.
Pemerintah dan OJK diprediksi akan merespons kasus ini dengan memperketat regulasi, termasuk penguatan sistem pelaporan, audit independen, hingga pengawasan yang lebih ketat terhadap struktur permodalan dan kepemilikan perusahaan fintech. Peninjauan ulang atas izin operasi dan kualifikasi manajemen di setiap platform juga menjadi sangat mungkin terjadi.
Selain itu, langkah-langkah untuk mempercepat restitusi dana bagi lender yang dirugikan akan menjadi fokus utama. OJK diharapkan segera membuka kanal pengaduan, skema mediasi, atau mekanisme hukum lain untuk mengupayakan pengembalian dana secara bertahap.
Dari sisi edukasi konsumen, kasus ini menekankan pentingnya literasi keuangan digital. Masyarakat perlu diedukasi agar tidak hanya tergiur imbal hasil tinggi, tetapi juga memahami risiko dan legalitas platform yang digunakan.
Dengan ditangkapnya Adrian Gunadi, perhatian kini tertuju pada sejauh mana proses hukum bisa menuntaskan kasus ini secara adil dan transparan. Ke depan, industri fintech dituntut untuk lebih disiplin dalam tata kelola dan mengedepankan prinsip kehati-hatian demi menjaga stabilitas sistem keuangan digital di Indonesia.
Penutup
Singkatnya, pemulangan dan penahanan Adrian Gunadi menandai babak baru dalam penindakan atas praktik penghimpunan dana ilegal di sektor fintech. Dengan kedatangan kembali ke Indonesia, Adrian akan menjalani proses hukum sesuai regulasi yang berlaku.